KomentarNews.ID, Bitung
Berbagai reaksi keras dan kecaman dari berbagai pihak tentang masuknya kapal Tiongkok ke Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di Natuna, membuat Pengacara Kondang Sulut Michael Jacobus SH MH angkat bicara untuk memberikan clearence solution terhadap permasalahan Laut Natuna.
Jacobus melalui ciutan media sosialnya mengatakan bahwa dirinya sependapat dengan sikap pemerintah karena mengusir dengan perang bukan sikap yang sesuai dengan hukum internasional.
Praktisi Hukum yang dikenal garang dalam setiap persidangan dan banyak kasus yang berhasil dimenangkannya, ini mengatakan bahwa harus dipahami bahwa antara pelanggaran kedaulatan negara (Violation of State Sovereignity) pengertiannya berbeda dengan pelanggaran hak berdaulat (Violation of Sovereignity Rights).
Pelanggaran kedaulatan negara terjadi kalau kapal asing masuk ke dalam laut teritorial tanpa ijin kita karena kedaulatan penuh NKRI ada diwilayah teritorial, sedangkan di ZEE, Indonesia memiliki hak berdaulat atas sumberdaya alam/berdaulat dalam mengelolah ZEE, sehingga negara manapun wajib mendapatkan ijin Indonesia untuk mengelola ZEEI.
Akan tetapi, jika sekadar melintas, maka di ZEEI terdapat hak dari semua kapal termasuk kapal asing untuk melintas atau hak lintas damai.
Sepanjang tidak ada tujuan mengambil kekayaan ekonomi ZEE, maka tidak ada pelanggaran disana. Oleh karena itu sikap pemerintah dengan aktif mengawasi menunjukan perhatian sudah sangat tepat, dan jika kapal Tiongkok terbukti melakukan penangkapan ikan atau pemanfaatan kekayaan ZEE, maka tindakan hukum adalah tangkap karena sudah melanggar hak berdaulat NKRI dan sesuai UU Perikanan kita pengkapan ikan tanpa ijin di ZEEI merupakan tindak pidana,
"tapi kalau sekadar melintas itu berarti hak lintas damai yang harus dihormati," ujar Lawyer kondang Sulut ini.
Ditambahkannya bahwa ada persoalan penting secara hukum international yang harus menjadi perhatian pemerintah agar kita tidak kehilangan hak seperti Pulau Sipadan dan Ligitan yakni penguasaan aktif (active occupation) di laut ZEEI lebih khusus Natuna, harus benar-benar nyata. "Didalamnya berarti merevisi ketentuan menyangkut moratorium ijin kapal diatas 150 GT agar bisa beroperasi di Natuna atau ZEEI lainnya agar penguasaan aktif tidak diabaikan. Karena jika kapal berukuran kecil, tidak mungkin bisa melakukan penangkapan ikan di ZEEI Natuna," katanya kepada KomentarNews.Id Jumat (10/01/2020)
Kiranya, solusi komprehensif dan tidak sekadar pengawasan seperti sekarang ini bisa ditempuh, agar hak berdaulat di ZEEI tidak akan digerogoti lagi. "Artinya, solusi jangka panjang hrs menjadi langkah penting agar kekayaan laut kita jangan hanya jadi. Sumber konflik tapi sumber yang bermanfaat mengsejahterakan rakyat," tandasnya.(nan)